Mas Bellboy
07 Mar 2024 - 4 min read
Salah satu hal yang menarik untuk dieksplorasi di Yogyakarta adalah mengenal upacara-upacara adat Yogyakarta. Apalagi, kota ini sangat terkenal dengan adat istiadatnya yang kental, termasuk juga karena model pemerintahannya yang berupa kesultanan, dimana banyak tradisi turun-temurun masih berlaku di dalamnya.
Beberapa orang dengan sengaja datang ke sini untuk melihat secara langsung upacara adat Yogyakarta yang memang menarik untuk disaksikan. Jika kamu salah satu yang tertarik, kamu bisa mengenal terlebih dahulu ragam upacara adat Yogyakarta yang masih dilakukan secara rutin oleh para warganya.
Foto: id.wikipedia.org
Banyak sekali upacara adat di Indonesia yang berkaitan dengan panen, termasuk juga Gejog Lesung. Upacara adat Yogyakarta ini dilakukan oleh para warganya sebagai tanda kebahagiaan mereka atas hasil panen. Adapun gejog ini berarti “bersahut-sahutan”, sementara lesung adalah alat penumbuk padi.
Bagaimana para petani melaksanakan Gejog Lesung? Mereka membuat musik dari suara menumbuk padi yang bersahut-sahutan. Maka, Gejog Lesung juga tidak hanya dikenal sebagai upacara tanda syukur, tapi juga sebagai kesenian musik khas Yogyakarta.
Tidak hanya suara lesung yang ramai, para petani juga membuat upacara semakin meriah dengan menyanyikan lagu-lagu Jawa. Sampai saat ini, Gejog Lesung masih dilaksanakan oleh masyarakat Batul dan Gunungkidul. Agar lebih menarik untuk ditonton, Gejog Lesung juga telah mengalami modifikasi sehingga semakin meriah untuk dipertontonkan.
Foto: djkn.kemenkeu.go.id
Tradisi Nyadran sudah dilakukan sejak jaman dulu, bertujuan untuk menghormati dan mendoakan para leluhur yang telah mendahului kita. Nyadran juga dikenal sebagai Ruwahan karena dilakukan pada bulan Ruwah, atau jika disamakan dengan kalender Hijriyah maka sama dengan bulan Sya’ban.
Selain itu mendoakan, Nyadran juga memiliki makna lain, yaitu mengingatkan kita akan kematian, dan bahwa kita yang masih hidup pasti akan menemui kematian suatu hari nanti. Nyadran juga bisa meningkatkan kedekatan antar saudara, karena pada momen ini, mereka bisa berkumpul bersama untuk berdoa bagi leluhur mereka.
Nyadran dilaksanakan dalam beberapa rangkaian. Rangkaian tersebut dimulai dari Besik (membersihkan makam), Kirab (arak-arakan menuju ke tempat Nyadran), Ujub (mengungkapkan maksud dari upacara Nyadran yang dilakukan oleh Pemangku Adat), Doa, dan terakhir adalah Kembul Budjono (makan bersama).
Upacara Nguras Enceh adalah upacara yang juga diikuti oleh abdi dalem Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Saat ini, upacara yang bertujuan untuk membersihkan lahir dan batin dari macam-macam hal kotor ini sudah menjadi Warisan Budaya Tak Benda dari DIY Yogyakarta.
Masyarakat setempat melaksanakan Nguras Enceh satu tahun sekali, yaitu pada hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon pada bulan Sura. Jika kamu belum tahu, Sura adalah bulan dari kalender Jawa. Bulan tersebut bertepatan dengan bulan Muharram pada perhitungan kalender Hijriyah.
Ritualnya sendiri cukup menggambarkan tujuan dari Nguras Enceh sendiri, yaitu dengan membersihkan empat buah gentong yang terdapat di makam raja-raja yang terletak di daerah Imogiri, Bantul.
Selain untuk membersihkan diri, masyarakat juga percaya bahwa air yang terdapat di dalam gentong-gentong ini memiliki khasiat tersendiri, di antaranya adalah menjauhkan dari musibah dan menyembuhkan dari penyakit.
Foto: kebudayaan.jogjakota.go.id
Jamasan Pusaka juga dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta pada bulan Sura. Tradisi ini masih sangat dijunjung tinggi hingga hari ini. Jamasan Pusaka sendiri berarti membersihkan pusaka, atau benda-benda keramat yang terdapat di Keraton Yogyakarta.
Tidak hanya untuk membersihkan koleksi-koleksi pusaka di Keraton, tapi Jamasan Pusaka juga sebagai bukti penghormatan dan simbol menyambut tahun baru Jawa. Salah satu benda keramat yang akan dibersihkan pada momen Jaman Pusaka ini adalah keris.
Tentu, membersihkan keris pusaka tidak bisa sembarangan. Prosesnya harus dilakukan secara berhati-hati dan cermat. Membersihkannya pun tidak bisa menggunakan air biasa, melainkan harus menggunakan beberapa campuran.
Awalnya, mereka akan berdoa, kemudian membersihkan keris dengan jeruk nipis dan membilasnya dengan air. Setelah itu mereka memberi warangan dari batu arsenik dan mengakhiri proses Jamasan Pusaka ini dengan memberi campuran minyak kelapa dan cendana pada keris.
Pada hari rabu terakhir di bulan Safar (salah satu bulan dalam kalender Hijriyah), masyarakat biasa melakukan upacara Rebo Pungkasan. Masyarakat yang melaksanakannya adalah masyarakat Desa Wonokromo di daerah Bantul, DIY Yogyakarta.
Ada kisah yang melatarbelakangi upacara Rebo Pungkasan. Dulu, ada seorang kyai pertama di Desa Wonokromo, bernama Kyai Faqih Usman. Kyai ini memiliki banyak jasa terhadap masyarakat, yaitu bisa menyembuhkan segala macam penyakit.
Konon, Sri Sultan Hamengkubuwono I bertemu dengan Kyai Faqih Usman pada hari rabu terakhir di bulan Safar. Waktu inilah yang menjadi alasan mengapa upacara Rebo Pungkasan dilaksanakan pada hari itu. Biasanya, satu minggu sebelum hari rabu terakhir itu, masyarakat sudah meramaikannya dengan pasar malam dan menutup kemeriahan acara pada hari selasa malam.
Tujuan dari Rebo Pungkasan adalah sebagai rasa syukur dan penghormatan terhadap jasa-jasa Kyai Faqih Usman. Hal unik dari Rebo Pungkasan yang kerap mengundang masyarakat untuk melihat adalah adanya kirab lemper raksasa. Lemper akan diarak berkeliling, dimana prajurit Keraton Ngayogyakarta juga turut ikut serta dalam barisan. Arak-arakan juga diiringi oleh seni musik yang membuat upacara ini semakin ramai.
Rebo Pungkasan biasanya akan mengundang pejabat-pejabat tinggi di pemerintahan, sehingga lemper raksasa tadi akan dipotong oleh pejabat tertinggi untuk dibagikan. Tenang, jika kekurangan, orang-orang di balik layar akan menjaga berlangsungnya Rebo Pungkasan dengan menyediakan juga lemper-lemper kecil untuk dibagikan.
Foto: warta.jogjakota.go.id
Upacara adat Yogyakarta yang terakhir dalam list ini adalah Merti Code. Upacara ini tergolong baru, dimana masyarakat melakukannya sejak tahun 2000an. Merti Code sesungguhnya adalah upaya perawatan Kali Code. Melalui Merti Code, warga sekitar sungai akan termotivasi untuk merawat sungai bersama-sama.
Hingga saat ini, masyarakat yang merayakan Merti Code sudah meluas. Awalnya, hanya warga kampung Terban dan Jetisharjo saja yang melaksanakannya, namun sekarang sudah bertambah dengan kampung-kampung lainnya. Tentu, jumlah warga yang ikut serta akan berimbas baik pada perawatan Kali Code, pun akan membuat Merti Code semakin meriah.
Mulanya, mereka akan melakukan ruwatan air. Ruwatan air tersebut berasal dari tujuh mata air dan disimpan dalam enceh patirtan. Kemudian mereka akan berarak-arak mengelilingi kampung-kampung di sekitar Kali Code sambil membawa enceh tersebut dan membawa juga kirab pusaka.
Air lalu dibagikan kepada warga-warga sekitar yang berada di sana, sebagai upaya meningkatkan kesadaran dan mengajak untuk senantiasa menjaga sungai
Bagaimana? Semakin tertarik untuk menghabiskan waktu liburanmu di Yogyakarta? Semoga kamu bisa menyaksikan salah satu upacara adat Yogyakarta yang menurutmu paling menarik, ya! Jangan lupa booking semua keperluan berlibur di Yogyakarta melalui Traveloka, mulai dari hotel, tiket kereta, tiket pesawat, dan tiket atraksi!
Cari Hotel dengan promo Traveloka