Tahukah kamu bahwa di pusat kota Bangkok ada sebuah kampung tua yang penduduknya beragama Islam sekaligus keturunan Jawa? Ya, Kampung Jawa atau Desa Koh Panyee di Thailand jadi salah satu bukti kemesraan hubungan Indonesia dan Negeri Gajah Putih sejak ratusan tahun silam. Bahkan, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Saat menginjakkan kaki ke sana, kamu akan disambut wajah-wajah ramah yang tampak familier, lengkap dengan nama-nama khas yang menunjukkan mereka asli keturunan Jawa. Suasana kampung, bahasa yang digunakan, hingga makanan yang disantap pun tidak berbeda jauh dengan desa-desa di Jawa. Namun, bagaimana awal mulanya orang Jawa bisa menetap di Bangkok ya?
Baca juga: 12 Rekomendasi Destinasi Wisata di Thailand
Bisa dibilang suasana kota Bangkok mirip kota-kota besar Indonesia. Lalu lintas padat, ramai, udara panas, dan tata kota modern yang penuh gedung-gedung menjulang tinggi. Maka, banyak orang terkejut ketika menjumpai sebuah kampung di tengah kota yang kental dengan suasana Jawa.
Untuk memuaskan rasa penasaran kamu, berikut 8 fakta Kampung Jawa di Bangkok yang wajib diketahui.
Kampung Jawa atau Koh Panyee ini berada di salah satu distrik selatan Bangkok bernama Sathorn. Untuk mencapai daerah ini, kamu bisa naik kereta dan turun di Stasiun Surasak. Dari stasiun kamu tinggal berjalan kaki dan mencari gang pertama di sisi kiri. Atau tanyalah pada orang lokal, di mana lokasi "Hong Lamat Jawa".
Pasti semua orang tahu di mana persisnya kampung tua ini, tepat di Jalan Rom Num Kheang 707, Yanawa. Selain naik kereta, kamu juga dapat memakai ojek atau taksi. Biasanya, supir akan mengarahkanmu melewati gang yang berlokasi di sebelah St. Louis Hospital.
Tepat di seberang Masjid Jawa, terdapat sebuah monumen berbahan batu granit yang menuturkan asal muasal Kampung Jawa. Tulisan pada monumen tersebut diukir dalam bahasa Inggris dan Thailand.
Pada era pemerintahan Raja Mongkut (Rama IV), sebagian orang Jawa yang berdagang di sana memutuskan menetap di Bangkok. Mereka menempati beberapa gang sempit di lingkungan pabrik es tua di subdistrik Kokkrabue, distrik Bangrak, serta sisi selatan kanal Sathorn.
Ketika Raja Chulalongkorn (Rama V) memerintah, ia mendatangkan orang-orang Jawa khusus untuk membangun taman dan gedung pemerintahan di Grand Palace. Tak perlu waktu lama, orang Jawa pun bermigrasi dengan cepat ke Bangkok.
Mengapa Rama V memilih orang Jawa? Rupanya hal itu berawal dari kunjungan ke Jawa tahun 1871 dan berulang di tahun 1896 serta 1901. Ia ingin mempelajari seperti apa standar pemerintahan kolonial Belanda.
Tentu saja kunjungan tersebut mendapat sambutan hangat Pemerintah Hindia Belanda ketika itu. Bahkan, Rama V memberikan hadiah sebuah patung gajah yang sampai detik ini masih berdiri gagah di halaman depan Museum Nasional, Jakarta, yang juga terkenal sebagai Museum Gajah.
Saat kunjungan tersebut, Rama V terpikat dengan teknik berkebun dan pertanian orang Jawa. Ia pun mendatangkan beberapa tukang kebun Jawa ke Thailand sebagai pengelola kebun kerajaan dan pengajar metode berkebun dan pembibitan.
Sejak saat itu orang Jawa mulai berdatangan, tinggal, dan menetap di Bangkok. Mayoritas anak cucu mereka lahir dan besar di Negeri Gajah Putih juga serta masih menetap di Sathorn sampai sekarang.
Gelombang kedatangan orang Jawa ke Bangkok terus berlanjut pada masa Perang Dunia II. Saat pasukan Jepang menginvasi Burma dan merebutnya dari genggaman Inggris pada akhir 1941, Jepang mendirikan jalan kereta api Thailand–Burma.
Romusha dari Jawa pun didatangkan untuk bekerja di proyek Jepang dan perkebunan. Meski perang berakhir, tidak semua orang Jawa kembali ke tanah air. Sebagian memilih tetap tinggal di Thailand.
Sumber: Wikimedia
Perang terpaksa membuat orang Indonesia yang menempuh studi di luar negeri tidak bisa kembali. Mereka “terdampar” di Thailand dan kemudian tinggal di Kampung Jawa hingga anak cucu, termasuk Irfan Dahlan, putra keempat K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Pada masa pendudukan Jepang, Irfan Dahlan yang belajar di Lahore, Pakistan, tidak bisa kembali ke Indonesia. Ia pun memutuskan tinggal di Thailand, bekerja sebagai guru agama, dan menikahi perempuan bernama Zahara. Mereka memiliki sepuluh anak dan saat ini keturunannya masih tinggal di belakang Masjid Jawa.
Monumen batu granit tersebut menuturkan migrasi orang Jawa ke Thailand berbuah izin pendirian sebuah masjid di Sathorn. Masjid ini kemudian menjadi pusat pendatang dan para pekerja dari Jawa ketika itu. Pembangunan masjid dilakukan pada tahun 1945 dalam masa pemerintahan Raja Phrabath Somdet Phrajula Chorm Krao.
Tanah tempat masjid ini berdiri merupakan tanah wakaf dari seorang pedagang Jawa bernama Muhammad Soleh bin Hasan. Lalu, ia pun didapuk sebagai imam pertama Masjid Jawa. Keberadaan Masjid Jawa sekaligus mengukuhkan predikat Kampung Jawa sebagai kampung muslim di tengah kota Bangkok.
Berada di tengah-tengah Kampung Jawa, kamu akan menjumpai penduduk setempat menjual makanan dan aneka kue berlabel halal di sepanjang jalan menuju masjid. Ini membuat Kampung Jawa dikenal sebagai destinasi kuliner halal bagi kaum muslim di Bangkok mengingat mayoritas penduduknya menganut agama Buddha.
Selain itu, kamu bakal merasa familier dengan arsitektur Masjid Jawa yang menyerupai Masjid Demak, Jawa Tengah. Ya, Masjid Jawa mempunyai empat pilar utama lengkap dengan atap tumpang, serta tiga pintu masuk dan serambi. Sebuah beduk berdiri di serambi depan. Uniknya, tempat wudu Masjid Jawa memakai pancuran dan ada tempat duduk.
Kampung Jawa berpenduduk sekitar 4.000 orang. Sebagian besar penduduk di sini lahir dari keturunan Jawa dan mereka adalah generasi ketiga dan keempat yang menetap di Kampung Jawa di Bangkok. Namun, hanya segelintir warga kampung ini yang masih fasih berbahasa Jawa maupun Indonesia.
Sehari-hari mereka memakai bahasa Thai dan Inggris. Saat ngobrol kadang terselip kata-kata bahasa Jawa atau Indonesia, tetapi tidak banyak yang benar-benar masih fasih menguasai bahasa leluhur mereka. Tentu saja ini wajar mengingat mereka lahir dan besar di Bangkok, bukan benar-benar datang dari Tanah Jawa.
Saat kamu menginjakkan kaki ke Kampung Jawa di Bangkok. masih banyak kebudayaan Jawa yang tetap hidup dan dilestarikan penduduk setempat. Beberapa makanan khas Jawa mudah dijumpai di sini dengan rasa autentik, persis seperti makanan yang dihidangkan di tanah air. Contohnya, ambengan nasi kuning, sayur asem, dan nagasari.
Bahkan, penduduk Kampung Jawa juga masih menyelenggarakan acara kenduri, termasuk penyebutan istilah acara orang menikah sebagai wong mantu dan acara orang meninggal sebagai wong mati. Demikian pula cara berpakaian mereka. Sebagian laki-laki penduduk Kampung Jawa kerap mengenakan baju koko, sarung, dan peci dalam kesehariannya.
Demikian 8 fakta unik Kampung Jawa di Bangkok yang belum banyak diketahui orang.
Ayo, masukkan Kampung Jawa dalam bucket list kamu saat berlibur ke Bangkok. Apalagi, sekarang kamu bisa kembali jalan-jalan menjelajahi dunia. Yuk, pesan tiket pesawat dan hotel di Bangkok lewat Traveloka demi perjalanan aman, nyaman, dan menyenangkan!